PRASANGKA,DISKRIMINASI,DAN ETNOSENTRISME SEBAGAI AKAR MASALAH
KONFLIK DI INDONESIA
KONFLIK GAM dan TNI DI ACEH
MAKALAH
INI DIAJUKAN UNTUK TUGAS MATA KULIAH ILMU SOSIAL DASAR
Disusun Oleh :
Muhammad Daniel Yuna
Kelas 1TA03
NPM: 14315535
Dosen Pembimbing:Emilianshah Banowo
JURUSAN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
UNIVERSITAS GUNADARMA DEPOK
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah
Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Bangsa Indonesia dengan baik meskipun
banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima kasih pada Bapak Haryono
Putro selaku Dosen mata kuliah “Ilmu Sosial Dasar” yang telah memberikan
motivasi dan kesempatan kepada saya untuk mengerjakan makalah ini.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.
Depok, 18 November 2015
Daftar Isi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Konflik dalam kehidupan sosial berarti benturan kepentingan, keinginan,
pendapat, dan lain-lain yang paling tidak melibatkan dua pihak atau lebih.
Konflik sosial tidak hanya berakar pada ketidakpuasan batin, kecemburuan,
kebencian, masalah perut, masalah tanah, masalah tempat tinggal, masalah
pekerjaan dan masalah kekuasaan, tetapi emosi manusia sesaat pun dapat memicu
terjadinya konflik. Bentuk dan sifat konflik dalam kehidupan sosial tidak
selalu sama. Terdapat variasi dalam konflik, baik menyangkut bentuk, sifat,
maupun penyebab terjadinya sehingga cara penyelesaiannya pun berbeda.
Kemungkinan berlangsungnya konflik akan semakin menguat jika perbedaan
horisontal (nilai, ideologi, kebiasaan, dan sebagainya) tersebut
dipertajam oleh perbedaan vertikal (kesenjangan
ekonomi dan kekuasaan). Dalam persoalan konflik konteks struktur
dan fungsi kehidupan sosial masyarakat yang bersangkutan harus diperhatikan
karena masyarakat sebagai suatu unit entitas akan sangat berpengaruh terhadap
keberadaan dan kelangsungan konflik. Sebagai realitas sosial masyarakat,
konflik mempunyai sisi positif dan sisi negatif. Dalam dimensi
positif, konfllik menjadi bagian penting
untuk terwujudnya perubahan sosial yang lebih
berarti menyelaikan perbedaan yang timbul, membangun dinamika,
heroisme, militanisme, penguatan solidaritanisme baru, serta lompatan sejarah
ke depan untuk integrasi yang lebih kokoh. Sedangkan dimensi
negatif, konflik menimbulkan resiko bagi
masyarakat dan bangsa.
Peter M. Blau (1977) menyatakan bahwa struktur adalah penyebaran secara
kuantitatif warga komunitas di dalam berbagai posisi sosial yang berbeda yang
mempengaruhi hubungan diantara mereka (termasuk di dalamnya
hubungan
konflik). Karakteristik pokok dari struktur yaitu adanya tingkat ketidaksamaan
antar bagian dan konsolidasi yang timbul dalam kehidupan bersama sehingga
mempengaruhi derajat hubungan antar bagian tersebut yang berupa dominasi,
eksploitasi, konflik, persaingan, dan kerjasama.
Dahrendorf (1986) mengemukakan bahwa konflik sosial mempunyai sumber
struktural, yakni hubungan kekuasaan yang berlaku dalam struktur organisasi
sosial. Dengan kata lain, konflik antar kelompok dapat dilihat dari sudut
keabsahan hubungan kekuasaan yang ada atau dari struktur sosial setempat.
Coser (1974) mengatakan bahwa konflik adalah
salah satu komponen penting dalam interaksi sosial. Oleh karena
itu, konflik tidak perlu dihindari, sebab konflik tidak selalu negatif atau
merusak. Dalam batas tertentu, konflik juga dapat menyumbang
bagi kelestarian kehidupan sosial dan mempererat
hubungan antaranggota.
Demikian pula halnya dengan peristiwa konflik sosial yang terjadi di Aceh. Akar
konflik di daerah tersebut telah berlangsung
sejak jaman kolonial, perbedaan ideologi,
kepentingan politik, budaya, sosial, ekonomi dan
sebagainya menjadi faktor penting dalam membangun hubungan konflik
dan kekerasan. Terbebaskannya mereka dari
penjajahan ternyata tidak membebasakan mereka dari situasi konflik.
Khususnya di Aceh, konflik terus berlangsung di era kemerdekaan sampai terjadinya
reformasi dalam kehidupan politik di Indonesia. Perbedaan kepentingan ideologi,
politik, dan kemudian dipertajam oleh penguasaan aset ekonomi antara daerah dan
pusat, semakin memperpanjang berjalannya pergolakan konflik di Aceh. Lebih
jelas muculnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 1976-2005 adalah kenyataan
perlawanan Aceh dengan pemerintah Republik Indonesia, GAM merupakan
gerakan
garis keras yang menuntut kebebasan, dengan gerilnya perlawanan dilakukan
membuat suasana semakin kacau, hukum ada hanya dijadikan sebagai simbol. Oleh
karena itu, penyaji mengangkat masalah konflik-konflik di Aceh sebagai bahan
kajian makalah ini.
1.2 Rumusan Masalah
Dari penjelasan latar belakang, maka dapat dirumuskan pada konsep makalah ini
adalah:
a. Bagaimanakah bentuk konflik yang
berlangsung?
b. Apa penyebab terjadinya konflik tersebut?
c. Bagaimana Upaya Penyelesaian kasus di
Aceh?
d. Bagaimana kondisi masyarakat Aceh pasca
konflik?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penilisan makalah ini adalah agar bisa memahami bagaimana persoalan
konflik yang terjadi dan kondisi masyarakat Aceh setelah pasca konflik.
Terjadinya konflik berbagai persoalan yang tersisa saat ini dan dapat dilihat
dengan bukti nyata.
BAB
II
ISI
2.1 Bentuk Tragedi Konflik Di Aceh
Pokok pertikaian (violent conflict) di Aceh lebih bersifat tegak lurus
(vertically violent conflicts). Ini berarti pertikaian itu terjadi antara
pemerintah pusat (PemPus) dengan sebagian besar rakyat Aceh yang
dipresentasikan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Peristiwa konflik yang melanda aceh sejak tahun 1976 sampai tahun 2005, bulan
berganti bulan, tahun berganti tahun Serambi Makkah terus bergejolak dan
konflikpun semakin menjalar, sampai pemerintah Republik Indonesia di bawah
kepemimpinan suharto Aceh ditetapkan sebagai Daerah Oprasi Militer ( DOM) 1989
sampai 1998 yang tak pernah dirasakan oleh daerah-daerah lain, DOM muncul
bagaikan neraka yang harus dijalani oleh masyarakat aceh, tidak sedikit wanita
diperkosa, anak-anak dibunuh dan ulama juga ikut dimusnahkan dengan hukum yang
mereka bawa sendiri, penyelsaian konflik yang sangat yang tidak bermoral
membuat Aceh bagaikan kota mati, suara ledakan bom dan letusan senjata, terjadi
bagaikan lantunan musik yang tak pernah putus. Suasana mencekam tersebut
akirnya meninggalkan duka, sedih, dan trauma yang tidak pernah dilupakan oleh
masyarakat aceh.
Dari kondisi sosial politik lokal, konflik yang
demikian parah, pemilu nasional terakhir (2004) tidak dimungkinkan
dilakukan pemilu karena adanya ancaman dari pihak sipil bersenjata GAM.
Tindakan represif dari militer ketika berlangsungnya Operasi
Militer di Aceh nampak menjadi faktor pendorong
menguatnya
ikatan antara pemimpin formal dan informal tradisional dan masa rakyat
demikian solid. Dalam kenyataan oprasi
militer yang demikian luar biasa dan lama menumpas GAM tidak
berhasil, dan tindakan kekerasan justru menjadi kontra produktif. GAM semakin
kuat, untuk mendapat dukungan rakyat. Geuchik (kepala desa/ tokoh adat), ketika
pasca daerah oprasi militer ternyata memiliki andil dalam memobilisasi rakyat
di desa untuk pergi meninggalkan desa, masuk ke hutan, seperti yang terjadi di
Gempang ( Ibid hlm:39).
Tradisi masyarakat Aceh adalah tradisi perlawanan dan perjuangan untuk suatu
penindasan (dzalim dan fasiq), ditunjukan dalam perang Aceh melawan Belanda
(1873-1904) selama 31 tahun, perang
kemerdekaan Indonesia, Operasi militer tehadap DI/TII dan operasi militer
penumpasan GAM sampai pemberlakuan DOM (1989-1998)
lebih kurang 30 tahun. Hikayat perang sabil
masing dikumandangkan di desa desa guna membangkitkan
”jihad fisabililah” ini terjadi pada masa DOM.
Hukum yang terjadi ketika konflik di Aceh melalui
operasi militer hukum tindakan represif dengan pengiriman 12 ribu tentara
menimbulkan akses yang luas berupa hilangnya ketentraman, keamanan dan
ketidakpastian hukum. Adanya pemberlakuan DOM selama 10 tahun 1989-1998),
kekerasan individual, kekerasan struktural dan kekerasan
politik telah terjadi di Aceh. Kasus pelecehan, pemerkosaan, kasus penculikan,
pembunuhan, tragedi Beutong di kenal peristiwa Teungku Bantaqiah peristiwa
pembataian 23 juli 1999, di lakukan tentara (Gatra ,1 Agustus 1999), Kemudian
kasus Simpang KKA yang menelan korban sipil 40 orang tewas oleh tentara
(Berta kontra no 1 /1999.) Pada masa ini terjadi 128 pemerkosaan
81 kasus pelecehan, 1547 rumah rusak, 657 kendaraan di rampas, 700 miliar
uang rakyat Aceh hilang, 7733 kasus pelanggaran HAM, 487 orang hilang dan
meninggal perlakuan represif ini justru memunculka apa yang di sebut
janda DOM dan anak anak korban DOM- rasa
benci kepada tentara muncul dan rakyatpun
bergerak melakukan perlawanan hak haknya (Ibid: 50).
2.2 Memahami Faktor Konflik di Aceh
1.
Faktor sejarah dan budaya
Hal
yang perlu di pahami dalam konteks sejarah dan budaya masyarakat Aceh bahwa
tradisi budaya mereka tidak bisa dipisahkan dengan agama Islam dan konsep
agama sesuatu yang ”melekat” dengan soal kekuasaan (politik). Oleh
karena itu, merusak struktur masyarakat di desa yang sangat menghormati seperti
Geuchik (kepala desa/ tokoh adat), Ieume Meunasah (tokoh agama/ tokoh informal)
dan Tuha Peut (penasehat dan lembaga”pengadilan ”) adalah sangat sensitif,
justru ini yang terjadi di masa pemerintahan Orde Baru. Pembangunan atas nama
modernisasi, telah merusak nilai nilai tradisi keagamaan yang kuat
melekat dalam kehidupan sosial budaya
masyarakat Aceh. Dengan sejarah tradisi
perlawanan, Hasan Tiro tokoh GAM cucu
Tengku Cik Di Tiro tokoh pejuang yang
juga murid Daud Beureuh dan pada
waktu gerakan DI/TII, mengklaim dirinya sebagai duta besar DI/TII
di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) (PSK-USAID:52).
2.
Faktor sosial ekonomi: Dominasi Elite atas Masyarakat Lokal
Wilayah
Aceh secara ekonomis sangatlah kaya dan potensial, terutama di bidang
pertanian, perkebunan, perhutanan, perikanan, industri, perdagangan dan
pertambangan. Hasil survei Alan Snout, konsultan
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), menyebutkan Aceh salah satu dari tiga
wilayah yang memiliki perlengkapan sumber daya alam di Indonesia setelah
Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Dalam kenyataannya pemerintah pusat
memperlakukan secara tidak adil dalam pembagian dalam hasil kekayaan dari bumi
Aceh. Sebagai contoh sejak 1979-1997 LNG Arun menyumbangkan devisa sebesar
45.223.448 US dolar yang kembali ke Aceh dalam bentuk APBD hanya 0,5%.
Nilai di bandingkan dengan masa kolonial, pemerintah kolonial Belanda dan
kerajaan Reureulak di
tahun
1895, porsinya 75%, kolonial hanya mendapatkan 24%, pada tahun 1905
pembagiannya kolonial 60% sedangkan Reureulak mendapatkan 40% (PSK-
UNDP, Ibid, hlm.47). Untuk pertumbuhan ekonomi di Aceh di tahun 1995-1997
sekitar 5 sampai 8 % (di atas pertumbuhan nasional), akan tetapi masyrakat Aceh
yang hidup di bawah garis kemiskinan sekitar 1354.081(33,24%), dan Aceh menjadi
daerah yang memiliki desa miskin terbanyak di kawasan Sumatra yakni 2275 desa (
Ibid). Demikian pula yang menikmati dan mendapatkan proyek terjadi
dikriminisasi, orang dan perusahaaan di luar Aceh mendapatkan nilai proyek
bernilai besar sedangkan kontraktor lokal hanya menangani proyek bernilai
kecil. Demikian pula dengan penerimaan karyawan tidak hanya dalam perusahaan
swasta, akan tetapi juga dalam rekruitmen pegawai negeri (Ibid).
3.
Faktor Politik
Ada
faktor politik yang sangat beperan dalam memahami konflik di Aceh; pertama,
faktor internal. Eskalasi konflik di Aceh yang awalnya kelompok DI/TII (Tgk
Muhammad Daud Beureuh) dan kelompok GAM (Hasan Tiro) dengan TNI. Dalam
perkembangan, akibat tindakan represif, khususnya militer di Aceh lahir
penyadaran dari berbagai lapisan masyarakat. Kelompok yang berperan untuk
melakukan penyadaran pada masa DOM dan
pasca DOM meliputi; pemimpin informal desa
yang melakukan penyuluhan kepada masyarakat,
solidaritas yang semakin menguat ketika adanya pembelaan terhadap berbagai
kasus korban di Aceh, GAM melakukan dengan cara violence
(senjata) dan non-violence (diplomasi dan penanaman kesadaran), kelompok
Aceh menderita ( korban DOM) dengan violence (kekerasan sporadis). Mahasiswa
non-violence (demonstrasi dan opini), pemogokan
masyarakat 4 sampai 5 Agustus 1999;
LSM
dengan cara violence (mengungkapkan fakta): Ulama Dayah
(HUDA) SIRA dan mahasiswa (mempelopori pawai referendum) tanggal 8
November 1999 yang di hadiri lebih kurang 2 juta rakyat Aceh. Kedua, faktor
eksternal.
Opini
Internasional, telah membawa persoalan konflik di Aceh ke dalam suatu
proses perundingan dengan melibatkan pihak
luar dalam hal ini pengamat Internasional
yang kemudian melahirkan MoU Helsinki.
Proses diplomasi menghentikan tindakan kekerasan sebagai second track
dari diplomasi antara
pemerintah
RI dan GAM yang membangun perdamain.
Kesepahaman yang di capai telah mengakhiri cara
kekerasan yang selama ini berlangsung, dan berdamai
sebuah penyelesaian konflik termulya di negeri ”Serambi Mekah”.
2.3 Upaya Penyelesaian
Tercapainya perdamaian antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka
pada bulan Agustus 2005 adalah sebuah rahmat dan prestasi besar tidak hanya untuk
perdamaian antara sebuah gerakan separatis dengan pemerintah, akan tetapi juga
bagi masyarakat Aceh dan bangsa Indonesia secara keseluruhan dan bahkan lebih
dari itu, yakni untuk perdamaian dan keamanan kawasan.
Secara umum, Pemerintah memfokuskan pelaksanaan kebijakan untuk meningkatkan
rasa percaya dan harmonisasi antarkelompok masyarakat melalui: 1. Memelihara
kepercayaan masyarakat terhadap langkah-langkah kebijakan Pemerintah melalui
komunikasi yang terbuka dan penegakan hukum secara tegas;
2.
Meningkatkan kualitas dan kapasitas lembaga pemerintah pusat; ketiga, menjamin
akses masyarakat yang seluas-luasnya pada media informasi yang independen;
3.
Terus mendorong pemberdayaan masyarakat sipil serta meningkatkan pendidikan
nilai-nilai luhur kebangsaan dan demokrasi kepada masyarakat luas;
4.
Meningkatkan koordinasi antarlembaga pemerintah, baik di pusat maupun dengan
daerah. Secara umum penerapan sejumlah kebijakan yang persuasif, tidak memihak,
proaktif, dan berimbang dari Pemerintah telah mampu mengurangi dan
menghilangkan dampak-dampak negatif dari konflik yang berdimensi politik di
daerah-daerah yang rawan terhadap munculnya konflik vertikal dan horizontal
5.
Untuk melanjutkan pembangunan bangsa dan pembangunan karakter rakyat yang kuat,
Pemerintah tetap menempatkan empat pilar penting konsensus bangsa, yakni
Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai pedoman tertinggi
kehidupan sosial politik seluruh bangsa. Seluruh anggota masyarakat dan
organisasi masyarakat sipil hendaknya menghindarkan diri dari sikap-sikap dan
perilaku ingin menang sendiri dan tidak mudah tergoda untuk melakukan tindakan
main hakim sendiri dalam menyelesaikan persoalan apa saja yang muncul di dalam
kehidupan sosial politik.
6.
Sasaran sosialisasi Pancasila adalah seluruh rakyat atau komponen bangsa karena
Pancasila adalah milik kita bersama sekaligus dasar negara NKRI yang harus
dipahami, untuk selanjutnya dilaksanakan secara konsisten dalam hidup berbangsa
dan bernegara oleh setiap warga negara tanpa kecuali. Di samping itu,
diperlukan metode yang tepat untuk mengimplementasikan nilai- nilai Pancasila
yang lebih cocok dengan situasi saat ini melalui konsep-konsep untuk dikaji
secara konseptual guna memecahkan permasalahan terhadap fenomena yang muncul
yang disesuaikan dengan dinamika masyarakat. Pendekatan humanis perlu
lebih dikedepankan, kebebasan menyatakan pendapat perlu ditambahkan dan tidak
lagi menggunakan pendekatan indoktrinatif.
7.
Pemerintah juga akan terus memelihara arus informasi kepada masyarakat secara
transparan, melindungi kebebasan berekspresi secara optimal. Pemerintah juga
akan terus mengembangkan potensi media center bagi
pemerataan
dan aksesibilitas perolehan informasi kepada seluruh anggota masyarakat, agar
setiap anggota masyarakat tetap mampu menjaga dirinya dari setiap provokasi
politik yang berbahaya bagi persatuan bangsa dan memelihara harmonisasi
kehidupan sosial di wilayah tertentu.
8.
Hal-hal berikut ini tetap perlu menjadi pedoman Pemerintah: pertama, tindakan
kekerasan dan teror akan langsung mendapat penindakan yang tegas sesuai dengan
hukum yang berlaku; kedua, Pemerintah tidak akan tunduk pada tekanan dan
ancaman dari pihak mana pun dari dalam dan luar negeri untuk menjalankan
tugasnya sebagai penyelenggara negara sesuai dengan konstitusi; ketiga, sebagai
negara yang berideologi Pancasila, Pemerintah berkewajiban melindungi segenap
warga negara tanpa melihat latar belakang agama, kelompok politik, ataupun
kesukuan.
9.
Dalam rangka mencegah kerawanan sosial, sejak tahun 2006 Pemerintah sudah
mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 Tahun 2006 tentang
Kewaspadaan Dini Masyarakat di Daerah serta Peraturan Menteri Dalam Negeri No.
34 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pembauran Kebangsaan di Daerah. Upaya
Lain yang dilakukan adalah memantapkan peran Pemerintah sebagai fasilitator dan
mediator yang adil dalam menjaga dan memelihara kesatuan, perdamaian, dan
harmoni dalam masyarakat. Sebelumnya, dalam membina kerukunan umat beragama,
Pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama,
Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah.
10.
Pemerintah juga terus melakukan pembinaan ideologi dan pengawasan pembangunan
dengan melaksanakan kegiatan utama berupa Sosialisasi Wawasan Kebangsaan dan
Cinta Tanah Air yang bekerja sama dengan ormas,
LSM,
dan lembaga nirlaba lainnya. Tujuannya adalah mengembangkan dan memperkuat
wawasan kebangsaan masyarakat dengan mengoptimalkan peran serta ormas, LSM, dan
lembaga nirlaba lainnya. Sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2007 telah
dilaksanakan kerja sama program wawasan kebangsaan dan cinta tanah air dengan
467 ormas, 180 ormas, dan 205 ormas masing-masing untuk tahun 2005, 2006 dan
2007. Upaya kemitraan dan kerja sama dengan ormas akan terus dilaksanakan dan
ditingkatkan pada tahun-tahun mendatang untuk membangun pemahaman dan komitmen
kebangsaan yang semakin baik.
2.4 Kondisi Masyarakat Aceh Pasca Konflik
Dari berbagai konflik dengan klasifikasinya ada beberapa masalah pascakonflik
yang dapat diidentifikasi, baik dari segi ekonomi, hukum, politik dansosial
budaya, di antaranya:
1.
Hancurnya sumber-sumber kehidupan, harta serta mata pencaharian
penduduk di daerah konflik yang menimbulkan
beban berat bagi pemerintah pusat.
2.
Ketidakpastian keamanan dan lemahnya jaminan hukum menyebabkan terjadinya
pengungsian massal guna menghindari korban konflik.
3.
Kebebasan demokrasi menjadi tidak sehat, karena dalam prosesnya diwarnai
politik kekerasan dari penguasa, elit politik dan masyarakat.
4.
Terjadinya perilaku politik yang bersifat egosentris
dan komunal dikalangan elit lokal menciptakan ketidakharmonisan berbagai
element masyarakat.
5.
Terjadinya intervensi ’asing’ secara sistematis
di kawasan konflik, untuk menggoyahkan
eksisitensi ideologi dan kedaulatan wilayah negara.
6.
Timbulnya rasa takut, curiga berkepanjangan,
menguatnya komunalisme, kedaerahan dan disharmonisasi kelompok masyarakat.
7.
Hancurnya pranata-pranata sosial budaya masyarakat yang selama ini berfungsi
sebagai perekat.
8.
Trauma Psikologis
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Konflik di Aceh adalah bukti penuntutan ketidak adilan
pemerintah yang menindas hak rakyatnya dan penyelesaian konflik dilakukan yang
tidak bermoral, sehingga muncul kesedihan, dan trauma dimasyarakat sampai saat
ini, apalagi ketika mengenang kisah-kisah yang lalu, Aceh bersimbah darah.
3.2
Saran
Menyimak begitu panjangnya rentetan konflik di tanah
Serambi Mekkah tersebut dan melihat begitu banyaknya korban berjatuhan, tentu
saja kita berharap penandatanganan nota kesepahaman antara pemerintah dan pihak
GAM di Helinski, Finlandia merupakan keputusan dan kesepakatan terakhir untuk
mewujudkan Aceh yang lebih baik di masa-masa mendatang. Dan harapan kesedihan,
trauma para korban bisa sembuh seperti semula.
3.1 Saran
Setelah
membaca makalah ini hendaknya pembaca dapat mengetahui dan memahami pentingnya
persatuan dan kesatuan dalam suatu negara demi terciptanya ketahanan
nasional yang kokoh dan kuat. Serta dapat mengaplikasikannya dalam
kehidupan sehari-hari dimulai dari sejak dini.
DAFTAR PUSTAKA
Grunady. 2007. Mengunggkap
Kekerasan Aceh. Seuramoe Press. Lhokseumawe.
Nasikun. 1989. Sistem Sosial Indonesia.
Penerbit CV Rajawali. Jakarta
Ranjabar, Jacobus. 2006. Sistem Sosial
Budaya Indonesia. Penerbit Ghalia
Indonesia. Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar