GUNADARMA

ug

Minggu, 15 November 2015

PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN DI ACEH

MAKALAH INI DIAJUKAN UNTUK TUGAS MATA KULIAH ILMU SOSIAL DASAR




Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiST4gmOHYtv11Ud8-3G40fSpB0IvkTTTSVRjQ2hpbig-U2YAeXCL0RiPzhJDqNVGCVNshKzF9PLvIUM1SA1uSYPINaOSHVkBF5JoR6-yjHZB49BowLEtANqQSIc8ZaXKhhRw5Knlcq0-Q/s1600/gundar.jpg




Disusun Oleh :
                                   
Muhammad Daniel Yuna
Kelas 1TA03
NPM: 14315535
Dosen Pembimbing:Emilianshah Banowo

JURUSAN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
UNIVERSITAS GUNADARMA DEPOK
2015




KATA PENGANTAR


            

       Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Bangsa Indonesia dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima kasih pada Bapak Haryono Putro selaku Dosen mata kuliah “Ilmu Sosial Dasar” yang telah memberikan motivasi dan kesempatan kepada saya untuk mengerjakan makalah ini.
       Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Di Indonesia. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
       Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.





Depok, 5 Oktober 2015
           












DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR ........................................................................................... i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1                      Latar Belakang ........................................... 1
1.2                      Rumusan Masalah....................................... 2
1.3                      Tujuan Penulisan......................................... 3        
BAB II ISI PEMBAHASAN
2.1                      Pengertian Globalisasi................................. 3
2.2                      Dampak Globalisai Terhadap Masyarakat.. 3
2.3................... Ular Kapital Dalam Karung Bantuan........... 6
2.4................... Kebudayaan Yang Masih Kental Pada Saat
........................  Acara Pernikahan.......................................... 6
2.5................... Aceh Dan Persoalannya................................ 7
2.6................... Pembangunan Budaya Aceh......................... 9
2.7................... Gambaran Keadaan Terakhir Di Aceh.......... 11
 BAB III PENUTUP     
       
        3.1.                     Kesimpulan,.........................................................  12


       

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia terdiri dari beribu-ribu suku bangsa yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Masing-masing mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda. Pengertian budaya itu sendiri ialah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Perkembangan suatu budaya dari suatu bangsa di pengaruhi oleh perkembangan intelektualitas dan perilaku social masyarakatnya. Sehingga budaya itu sendiri tidak dapat terhindar dari perubahan mengikuti perkembangan zaman. 

            Namun perubahan tersebut harus tetap mempertahankan nilai dasar budaya itu sendiri sehingga tetap terjaga kemurniaanya. Salah satu budaya yang akan kami kaji lebih dalam kali ini ialah Kebudayaan Aceh. Di mana Aceh merupakan salah satu Daerah Istimewa di Indonesia. Selain  rakyat Aceh menjadikan ajaran Islam sebagai dasar yang mengatur kehidupan. Tak heran daerah ini terkenal dengan sebutan “Serambi Mekkah”.
Pada masa penjajahan, semangat dan peranaan rakyat Aceh sangat besar dalam mengusir penjajah. Walaupun hanya dengan senjata tradisional seperti Rencong, mereka tak gentar melawan penjajah. Hal inilah yang membuat Aceh mendapat sebutan “Tanah Rencong”. Lalu seperti apakah kehidupan rakyat Aceh sehari-harinya?

          Dan di tengah Maraknya arus Globalisasi yang masuk ke Indonesia, melalui cara -cara tertentu membuat Dampak Positif dan Dampak Negatifnya sendiri Bagi Bangsa Indonesia khususnya di Aceh. Terutama dalam Bidang Pembangunan Kebudayaan. Karena semakin terkikisnya nilai - nilai Budaya kita oleh pengaruh budaya Asing yang masuk ke Negara kita.

          Oleh karena itu, untuk meningkatkan ketahanan budaya bangsa, maka Pembangunan Nasional perlu bertitik-tolak dari upaya-upaya pengembangan kesenian yang mampu melahirkan "nilai-tambah kultural". Maka setiap budaya yang ada harus dipertahankan untuk menjaga pengaruh globalisasi yang semakin kuat.







1.2 Rumusan Masalah
            Dari latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka yang menjadi rumusan masalah yaitu:
            1. Bagaimana Pengaruh Globalisasi terhadap pembangunan kebudayaan di Aceh?
            2. Bagaimana dampak dari Globalisasi terhadap pembangunan Kebudayaan di Aceh?

1.3 Tujuan Penulisan
            Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan makalah ini yaitu:
1.Untuk mengetahui bagaiman pengaruh globalisasi terhadap pembangunan kebudayaan aceh.
2. Untuk mengetahui dampak dari globalisai terhadap pembangunan kebudayaan aceh.
3. Universalisasi: Globalisasi juga digambarkan sebagai semakin tersebarnya hal material maupun imaterial ke seluruh dunia. Pengalaman di satu lokalitas dapat menjadi pengalaman seluruh dunia.
4.Westernisasi: Westernisasi adalah salah satu bentuk dari universalisasi dengan semakin menyebarnya pikiran dan budaya dari barat sehingga mengglobal.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Globalisasi
          Menurut asal katanya, kata "globalisasi" diambil dari kataglobal, yang maknanya ialah universal. Achmad Suparman menyatakan Globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekedar definisi kerja (working definition), sehingga bergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dannegara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.

          Globalisasi adalah suatu proses dimana antarindividu, antarkelompok, dan antarnegara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan mempengaruhi satu sama lain yang melintasi batas negara. Scholte melihat bahwa ada beberapa definisi yang dimaksudkan orang dengan globalisasi:
1.                  Internasionalisasi: Globalisasi diartikan sebagai meningkatnya hubungan internasional. Dalam hal ini masing-masing negara tetap mempertahankan identitasnya masing-masing, namun menjadi semakin tergantung satu sama lain.
2.                  Liberalisasi: Globalisasi juga diartikan dengan semakin diturunkankan batas antar negara, misalnya hambatan tarif ekspor impor, lalu lintas devisa, maupun migrasi.
3.                  Universalisasi: Globalisasi juga digambarkan sebagai semakin tersebarnya hal material maupun imaterial ke seluruh dunia. Pengalaman di satu lokalitas dapat menjadi pengalaman seluruh dunia.
4.                  Westernisasi: Westernisasi adalah salah satu bentuk dari universalisasi dengan semakin menyebarnya pikiran dan budaya dari barat sehingga mengglobal.


2.2 Dampak Globalisasi Terhadap Masyarakat Aceh
Kebudayaan Aceh dari zaman dahulu sangat erat kaitannya dengan adat dan kebudayaan Islam. Seperti kita ketahui pada zaman kerajaan Aceh dulu dimana terdapat banyak upacara-upacara agama di kerajaan, seperti:
1.      Perayaan hari raya puasa; Pemerian arak-arakan raja dari istana sampai dari istana sampai masjid Bait ur-Rahman. Pedang raja diarak di hadapan sultan, begitu pula pingan sirih (puan) dan kantong sirih. Setelah bersembahyang di belakang tirai (kelambu) di tempat yang dinamakan rajapaksi, sultan pulang naik gajah upacara
2.      Adat majelis hadirat Syah Alam berangkat sembahyang hari raya haji ke masjid Bait ur-Rahman; arak-arakan sultan pergi ke mesjid untuk bersembahyang pada hari ke-10 bulan Zulhijjah.
3.      Majelis Syah Alam berangkat sembahyang ke masjid jum’at, iring-iringan pada saat sultan pergi ke masjid setiap hari jum’at. Dari contoh-contoh diatas dapat kita ketahui bahwa sejak zaman dahulu kebudayaan Aceh sudah sangat lekat dengan Islam. Namun, semenjak Aceh dimasuki globalisasi banyak perubahan yang terjadi didalam masyarakat Aceh, terutama pada remaja-remaja Aceh.Para remaja di Aceh, terutama di Banda Aceh pada saat ini banyak membentuk komunitas-komunitas yang kebarat-baratan, seperti Geng emo, Geng Motor, dan Anak Punk. Mereka hanya menghabiskan waktu mereka untuk hal-hal tidak berguna, seperti tauran antar geng. Mereka mengganggu kenyamanan dan keamanan masyarakat.

          Dampak negative dari globalisasi ini juga dapat kita lihat dari moral masyarakat Aceh yang semakin merosot akibat pengaruh budaya luar. Remaja-remaja Aceh pada saat ini suka menggunakan pakaian-pakaian ketat dan terbuka tanpa merasa malu, bahkan mereka bangga mengenakan pakaian seperti itu. Banyak remaja yang tidak lagi hormat kepada orang tua. Para remaja Aceh banyak yang berpelukan dijalanan dengan pasangan mereka tanpa adanya rasa malu. Ini semua terjadi akibat apa yang selama ini mereka lihat di televisi. Bahkan beberapa orang tua bangga apabila anak gadis mereka sering berpergian bersama lelaki. Hal-hal yang seperti ini dianggap tabu sebelumnya. Namun, karena mereka sering melihat hal-hal seperti ini di media elektronik, lama-kelamaan mereka mengganggap hal seperti ini biasa saja
          Globalisasi telah menjadi virus bagi budaya dan moral bangsa Aceh yang sebelumnya sangat baik. Virus ini semakin lama semakin susah untuk dikontrol. Perubahan-perubahan pada kebiasaan masyarakat aceh semakin terasa, masyarakat Aceh yang sebelumnya sangat kekeluargaan menjadi masyarakat individualis dan tidak memperdulikan orang sekitar. Kemerosotan moral dan kebudayaan akibat globalisasi mulai merebak di Aceh semenjak tahun 2000-an, namun semakin buruk pasca tsunami, kemungkinan besar ini karena banyaknya NGO yang masuk ke Aceh dan menyebarkan pemikiran-pemikiran mereka. Bahkan angka perceraian meningkat sejak masuknya LSM-LSM yang mengatakan mereka adalah pejuang kesetaraan gender.
Hal-hal sepele dalam keluarga yang tadinya dapat diselesaikan secara baik-baik saat ini bisa menjadi permasalahan besar dan berakhir pada perceraian.
Jangan sampai Aceh ke depan digadaikan oleh kelompok donatur yang tidak memedulikan adat istiadat dan agama di Aceh”. Pelatihan fasilitator yang digerakkan oleh Komunitas Peradaban Aceh telah memadukan model pelatihan antara pendidikan di dalam ruangan (indoor theory) dan simulasi terjun ke dalam masyarakat (live in). Dari hasil terjun ke masyarakat ketiga desa pesisir di Lhokseumawe (Ulee Jalan, Ujong Blang, dan Hagu Barat Laut) para peserta menyimpulkan bahwa globalisasi bantuan di Aceh telah berubah menjadi bencana baru dibandingkan berkah. Menurut Ketua Komunitas Peradaban Aceh, Teuku Kemal Fasya, hasil dari penelitian partisipatif para fasilitator di masyarakat pesisir tersebut memberikan sinyal bahwa masyarakat sudah cukup kritis dengan keberadaan NGO di Aceh. Jika dahulu masalah pembangunan ada pada kebijakan politik Orde Baru yang sentralistik, kini mengarah pada jaringan global bantuan yang dianggap merenggut keindahan gampong Aceh masa lampau. Masyarakat Aceh semakin rindu dengan romantika gampong Aceh yang permai dan seimbang secara kultural dan agama.
          Pembangunan Aceh yang sewenang-wenang telah menyebabkan tersebarnya virus budaya global. Yang paling nyata adalah kurangnya solidaritas dan mekarnya semangat individualistis. Ini yang menyebabkan masyarakat Aceh membangun fiksasi kemajuan seperti yang ada pada masa Sultan Iskandar Muda. “Padahal masa lalu itu tak mungkin diulang,” ungkap Kemal yang ditemui terpisah. Seorang peserta dari kalangan buruh Rasyid, berpendapat dibutuhkan strategi pemberdayaan baru bagi Aceh, yaitu mengantikan semangat filantropi dolar yang dibawa oleh fasilitator asing dan non-lokal. Namun, dampak-dampak negative dari globalisasi ini sebenarnya dapat kita tanggulangi apabila pemerintah dan masyarakat mau saling bahu-membahu dalam perbaikan moral bangsa, Seperti:
1.      Orang tua seharusnya mengerti internet agar dapat mengawasi apa yang dilakukan oleh putra-putri mereka di dunia maya.
2.      Orang tua lebih mengontrol anak-anak mereka dalam pergaulan.
3.      Sekolah-sekolah menanamkan nilai-nlai islam yang lebih dalam, sehingga para remaja dapat membedakan dan memilih yang mana baik untuk mereka dan mana yang buruk bagi mereka.
4.      Wilayatul Hisbah (WH) dapat lebih mengontrol masyarakat Aceh, tidak hanya mengontrol orang-orang dari kalangan bawah, tetapi mengontrol semua kelompok masyarakat tanpa pandang bulu.
         
          Namun, tidak semua hal dari globalisasi ini berdampak negative terhadap kehidupan masyarakat Aceh. Media elekronik dan media cetak juga mempunyai banyak efek positif, sebagai contoh internet mempunyai informasi yang sangat luas, yang dapat memperluas dan membuka pikiran kita.
Sebagai salah satu ranah perang yang paling aktif di kawasan Asia Tenggara, Aceh sekian lama menjadi mimpi buruk bagi banyak orang. Orang banyak yang saya maksud di sini mungkin adalah si Barat dalam membayangkan Aceh sebagai timur tropis yang seksi, indah dan eksotis dengan masyarakat ramah, yang senantiasa menghidangkan tarian-tarian pula jamuan kepada para pendatang. Dalam kenyataan, kurun seratus tahun, hitungan kotor menakar perang panjang semenjak 1873-2005 telah mengerkah lempeng kehidupan normal masyarakat Aceh (normal sebagaimana saya mendefinisikan bayangan orang terhadap Aceh sebagai bagian dari puak timur dunia).
Bicara tentang Aceh pasca bencana alam paling populer di penghujung tahun 2004 tersebut mungkin seperti berkisah tentang sebuah kaum yang telah jadi “kampungan” karena lama berada dalam “tempurung” yang samasekali sulit beroleh celah melongok ke luar. Maka setelah begitu lama menjalani hari-hari yang sama (semisal menebak-nebak siapa yang tertembak hari ini, atau meramal kematian sendiri) dan tak beranjak dari peristiwa yang itu-itu juga, pasca bencana alam tersebut, masyarakat Aceh seolah diajak berlari mengikuti kelebat peristiwa demi peristiwa yang berganti secepat gelombang tsunami. Kondisi yang porak dan puak-puak orang yang masih terbelalak atas dahsyatnya humbalang gempa dan ombak raya, serta merta berubah menjadi suguhan bernama solidaritas bantuan yang marak.

2.3 Ular Kapital Dalam Karung Bantuan
          Bencana tsunami yang menghumbalang pada 26 Desember 2004 entah harus disyukuri atau tidak (karena telah menelan begitu banyak korban jiwa dan menghancurkan pelbagai infrastruktur masyarakat) membuka babak baru sejarah Aceh. Perjanjian damai antara Gerakan Atjeh Merdeka dengan pemerintah RI menjelma di tengah proses pemulihan kembali kondisi Aceh.  Dalam kenyataan kemudian, kondisi pasca perang dan upaya pembangunan kembali usai musibah alam tersebut, sebaliknya dimanfaatkan benar oleh modal luar untuk menanamkan investasi di Aceh. Setelah ajang pemilihan kepala daerah secara langsung yang dimenangkan pasangan Irwandi Yusuf dan M. Nazar, investor asing berlomba masuk ke Aceh .
Sikap Gubernur baru yang membuka kesempatan seluas-luasnya kepada pemilik modal untuk membangun imperium bisnis mereka di Aceh disambut gempita.
Sudah bukan rahasia bila globalisasi yang didesakkan para penganjur kapitalis dalam wujud komodifikasi adalah upaya mencari pasar-pasar baru dan biasanya mereka sangat peka terhadap keunggulan lokasi-lokasi baru tersebut. Beberapa aspek yang kita tahu menjadi pertimbangan ekonomi kapital terhadap lahan baru (semua hal tersebut dalam asumsi saya tersedia di Aceh) adalah; upah pekerja yang rendah, serikat pekerja yang lemah, pajak ringan, intervensi negara dan birokrasi (yang sehat) lemah . Kondisi Aceh yang diramal akan stabil pasca perang menyusul penandatangan kesepakatan damai di Helsinki antara Gerakan Atjeh Mardeka (GAM) dengan RI  memenuhi seluruh kriteria sebuah lahan baru yang empuk bagi pasar kapitalisme global.


2.4  Kebudayaan yang Masih Kental Pada Saat Acara Penikahan.
            Budaya yang melekat pada masyarakat Aceh pada umumnya ketika berlangsungnya pesta perkawinan dari dulu memang sangat berbeda dengan daerah yang lain. Ini dikarenakan budaya yang ada di beberapa daerah di aceh masih terjaga sebagai warisan kebudayaan. Tidak hanya itu, rasa gotong royong yang masih terjalin dengan kuat, menjadikan budaya Aceh masih bertahan dan tidak mudah untuk ditukarkan dengan budaya lain yang banyak berubah di daerah perkotaan. Pada saat pesta pernikahan, jika kita melihat ke daerah perkotaan, maka kita akan melihat banyak acara hiburan yang bernuansa Westernisasi yang diadopsi sedemikan rupa sehingga merubah pola pikir kepada masyarakat, merekamasih mengira hal tersebut lumrah terjadi karena tidak sama dengan budaya orang. Tetapi pada kenyataannya hiburan semacam itu tidak pernah dilakukan dalam masyarakat aceh itu sendiri.
            Dalam kebudayaan aceh pada seriap pesta pernikahan biasanya diadakan Dalail khairat, Rukon agama dan lainnya sebagai selingan untuk menyambut kedatangan tamu yang di undang. Ini menunjukkkan bahwa budaya yang ada dalam masyarakat aceh masih dijaga sampai sekarang




2.5 Aceh dan Persoalannya
          Masyarakat aceh sebagai salah satu suku bangsa yang pernah mengalami kemajuan peradaban tertinggi di nusantara sejak awal masuknya Islam ke Aceh pada abad pertama Hijriah atau pada awal Abad ke-7 Masehi, sejak itu kedudukan Aceh menjadi sangat penting dalam rangkaian penyebaran kebudayaan Islam di kepulauan Nusantara. Kita mengetahui Bagaimana hebatnya kerajaan Islam Pasai sebagai dasar dari perkembangan peradaban Aceh, hingga kemudian peradaban Aceh ini mencapai puncaknya yang luar biasa pada waktu kerajaan Islam Aceh Darussalam di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda.
          Konflik yang terus mendera, telah menyebabkan peradaban Aceh pun ikut mengalami pasang surut kalaupun tidak dikatakan mengalami kehancuran. Kalau kita runut pada sejarahnya selama lima abad, Aceh sudah berkali-kali mengalami kehancuran budaya dan peradabannya. Dimulai sejak Aceh berkonflik dengan bangsa Portugis, lalu disusul dengan Inggris, Belanda dan Jepang. Dalam setiap konflik ini tidak hanya membuat Aceh kehilangan jiwa dan harta benda , tetapi juga ikut menghancurkan lini-lini perada-bannya. Belum lagi, konflik-konflik internal setelah kemerdekaan yang dihadapi Aceh, seperti konflik fisik yang kemudian melahirkan Perang Cumbok tahun 1946, kemudian disusul konflik DI/TII tahun 1953, dan diteruskan dengan konflik yang baru, dimana kita baru saja mendapatkan perdamaian melalui MoU Helsinki. Dapat dibayangkan dalam setiap konflik itu bagaimana hancurnya lini-lini kebudayaan dan peradaban ditengah-tengah masyara-katnya hingga sekarang ini. Ditambah lagi dengan musibah bencana gempa dan Tsunami Tahun 2004, maka lengkaplah penderitaan dan kehancuran Peradaban Aceh.
Meskipun Aceh sudah berada dalam tahap kehancuran peradabannya yang luar biasa namun masih banyak harapan kita untuk bangkit kembali dari kehancuran peradaban ini.
Pengalaman sebelumnya, setiap mereka mengalami kehancuran budayanya baik diakibatkan oleh konflik sejak dengan Portugis, Belanda dan Jepang, masyarakat Aceh selalu berhasil membangun kembali peradabannya seusai konflik, meskipun kemudian jatuh lagi akibat konflik baru. Apakah semangat itu masih kita miliki sekarang ini untuk terus membangun kembali peradaban Aceh seusai konflik, bencana Tsunami, dan dalam masa perdamaian ini?
Sebelum terjadinya bencana gempa bumi dan gelombang tsunami yang telah terjadi  yang telah meluluh lantakan sebagian Provinsi  Aceh.  Provinsi ini memiliki kondisi alam yang sangat indah dengan objek dan daya tarik wisata serta seni budaya dengan daya tarik dan keunikan tersendiri. Saat ini yang harus dipikirkan adalah adanya suatu usaha guna meningkatkan kembali apresiasi masya-rakat Aceh terhadap budaya daerahya.
          Setelah musibah yang  sangat dahsyat itu,  Aceh  mengalami satu babak baru dalam perkembangannya. Begitu banyak usaha yang telah dilakukan berbagai pihak dengan berdalih kemanusiaan, mereka ingin menanamkan pengaruh mereka terutama dibidang budaya. Kalau selama ini  Aceh  merupakan salah satu provinsi yang sangat kuat berpegang pada syariat Islam, sehingga bukan satu hal mudah bagi Negara lain untuk dapat menanamkan pengaruh budayanya di Aceh. Namun saat ini Aceh  jadi begitu terbuka bagi siapapun yang ingin masuk dan tentu saja hal ini membawa pengaruh tersendiri untuk masyarakat Aceh. Kalau hal ini dibiarkan maka  Aceh  sebagai Provinsi dengan julukan Serambi Makkah akan mengalami degradasi budaya.
          Saat ini masyarakat Aceh mempunyai satu kesempatan untuk memperlihatkan jati dirinya kepada dunia luar bahwa masyarakat di Aceh  bukan masyarakat yang hanya bisa menerima uluran tangan dari orang lain. Tapi Aceh memiliki kearifan budaya daerah yang masih dipegang teguh. Tentu saja dalam usaha mencapai national and character building akan muncul berbagai perbedaan di dalam masyarakat Aceh sendiri tetapi sejauh perbedaan¬ perbedaan itu dapat disikapi dengan arif dan bijaksana, maka akan menghasilkan suatu sinergi yang nantinya menjadi kebanggaan bagi rakyat Aceh. Tidak kalah pentingnya harus diperhatikan juga membangun dan membangkitkan mentalitas generasi dini agar dapat berpikir positif dalam menyikapi tragedi yang terjadi di daerahnya.
          Yang harus diwaspadai setelah bencana ini, adalah masyarakat Aceh tidak boleh terbuai dengan kata bantuan dari para dermawan, kita harus dapat membedakan mana bantuan yang sesungguhnya dan mana bantuan yang hanya akan menguntungkan pihak si dermawan. Adalah kenyataan bahwa bantuan seringkali identik dengan tali yang melilit dileher karena segala bantuan umumnya adalah hutang, dan untuk membayar hutang sumber daya yang kita miliki harus terhisap, termasuk budaya kita dapat terkikis. Ini tidak berarti bahwa Aceh harus menutup diri terhadap kemajuan teknologi yang ada disekitarnya, hanya harus diwaspadai juga terhadap kemajuantersebut.


          Pengaruh budaya melalui kemajuan teknologi adalah satu keadaan yang sulit untuk dicegah. Kondisi seperti ini bukan hanya dialami oleh Provinsi Aceh  tetapi sudah menjadi masalah nasional, dimana para generasi muda sudah jarang sekali yang merasa bangga akan budaya daerahnya. Namun dengan kondisi Aceh yang labil seperti sekarang ini, kalau Pemerintah Daerah tidak segera mewaspadainya maka tidak mustahil  Aceh  akan kehilangan jati dirinya sebagai Provinsi dengan julukan Serambi Mekkah, karena sedikit demi sedikit budaya islampun akan mengalami kemunduran karena masuknya pengaruh budaya asing.

2.6   Pembangunan Budaya  Aceh
          Dilihat dari latar belakang kehidupan, dan isu-isu sentral yang mengatakan bahwa Aceh masih dihadapkan pada persoalan-persoalan yang kompleks dan multidi-mensional yang merupakan akumulasi dari berbagai persoalan daerah yang selama ini terus berlanjut    dan belum mampu disele-saikan dengan tuntas, maka strategi pem-binaan dan usaha pengembangan kebudaya-annya perlu mengacu pada hal-hal yang terkait dengan itu. Dan harus diperhatikan pula akan hal lain yang bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi yang kurang di-imbangi dengan pembangunan karakter akan mengakibatkan goncangan dan krisis budaya, yang kemudian berujung pada lemahnya ketahanan budaya.
          Proses globalisasi dengan kemajuan dibidang teknologi komunikasi dan transfortasi telah menjadikan alam dunia seolah tanpa batas. Dalam kenyataan yang sesungguhnya pelestarian dan pengem-bangan kebudayaan daerah menjadi terlantar yang disebabkan perhatian yang kurang terhadap arti penting kebudayaan.
Kebudayaan sebagai perwujudan kemam-puan manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya menjadi acuan (pedoman) bagi masyarakat dalam melakukan tata pergaulan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
          Strategi awal yang bisa kita lakukan dalam pembinaan dan pembangunan kebudayaan di Aceh adalah dilihat dari sudut falsafah dan sifatnya. Keberhasilan suatu aktivitas atau pemajuan kebudayaan di Aceh sangat tergantung kepada sejauh mana pertumbuhan, kecerdasan, kepriba-dian, kreativitas dan keterampilan yang dicapai secara bersama-sama. Semua ini senantiasa berorientasi pada manusia secara kolektif. Ketika akan berlangsung suatu proses kebudayaan, pertama kali yang harus diperhatikan oleh siapa saja yang terlibat dalam proses itu adalah kesiapan dari manusianya: sejauh mana tingkat kecerdasannya; bagaimana kepri-badiannya; dan sejauh mana kreativitas dan keterampilan yang dimilikinya. Secara asasi setiap manusia atau kelompok manusia itu mempunyai hak untuk memajukan pertumbuhan keempat matra tersebut serta tidak ada satupun kekuatan dan kekuasaan di dunia ini yang boleh meniadakan hak tersebut.
Disamping hal tersebut diatas, pembinaan dan pengembangan kebuda-yaan di Aceh sebaiknya memperhatikan masa dan waktu. Kebudayaan itu memiliki tiga sifat yang utama, yang sangat berpengaruh pada upaya pemajuan suatu daerah. Ketiga sifat itu menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan keterselesaian, ketercepatan dan ketergantungan.




1.Keterselesaian
          Berkaitan dengan maksud keterse-lesaian, pada dasarnya kebudayaan meru-pakan proses yang tidak pernah mengenal batas akhir. Senantiasa berproses secara terus menerus sejalan dengan dinamika perkembangan keempat matra tersebut, yaitu kecerdasan, kepribadian, kreativitas dan keterampilan. Oleh karena perkem-bangan keempat matra tersebut tidak pernah berhenti, maka proses pengem-bangan kebudayaan juga tidak pernah akan bisa berhenti, tidak mengenal batas akhir, dan tidak sampai ke titik puncak karena titik puncak yang sebenarnya tidak pernah ada.

2.Ketercepatan.
          Pada dasarnya perkembangan kebuda-yaan itu berjalan secara perlahan tetapi pasti sebab banyak faktor yang ber-pengaruh pada kebudayaan manusia, baik yang bersifat internal, maupun yang bersifat eksternal, seperti ekonomi, politik dan sosial, maka kebudayaan akan berkembang sangat dinamis. Sebaliknya bila dorongan tersebut lemah, perkemba-ngan akan berjalan lamban, tetapi tidak berarti kebudayaan itu menjadi statis.

3.Ketergantungan.
Kebudayaan adalah perwujudan usaha budi manusia, dan oleh sebab itu keber-hasilan ataupun kegagalan pengembangan kebudayaan itu pada dasarnya sangat tergantung kepada semangat masyarakat pendukung yang menjadi pemilik kebu-dayaan itu sendiri. Kebudayaan akan tetap hadir (eksis) di tengah ¬tengah masyarakat apabila masyarakat masih memandang kebudayaan masih relevan dengan per-kembangan. Sebaliknya apabila masyarakat memandang kebudayaan miliknya sudah tidak relevan lagi, maka akan ditinggalkan. Maju atau mundurnya bukan tergantung pada penguasa atau kekuatan-kekuatan yang lainnya.



2.7 Gambaran Keadaan Terakhir
Proses rekontruksi Aceh terutama dalam membangun infrastruktur fisik seperti gedung, jalan, jembatan dan sebagainya menjadi ajang megaproyek kapitalis transnasional pula. Dengan putaran dana berjumlah triliunan rupiah. Kebutuhan terhadap modal, bahan baku dan tenaga kerja dengan kuantitas luar biasa menjadi peluang empuk dan kemudian menghempang Aceh ke dalam skema (apa yang kemudian kita sebut sebagai) politik bantuan. Tentang Aceh sebagai lahan tua yang kaya akan kandungan barang berharga dari gas, emas, semen dan beragam komoditi pasar dunia yang teramat menggairahkan, adalah hal yang bukan rahasia pula bagi radar kapital yang terkenal jeli. Jalan masuk bagi “pedagang-pedagang lintas batas” terbuka lebar dalam kondisi darurat untuk pemulihan Aceh. Beberapa korporasi disinyalir sudah membuat perjanjian dengan pemerintah setempat untuk mengeruk hasil perut bumi yang selama ini tertahan karena kondisi keamanan yang buruk.
Pemikir kajian kebudayaan semisal D. Harvey menyatakan restrukturisasi ruang sebagai hasil rekayasa bagi penyebaran kapitalisme industrial . Senada dengan Harvey, tinjauan Manuel Castells meski cenderung menelaah tentang struktur kota sebagai hasil rekayasa kapital, Castells lebih tajam membongkar fungsi fasilitas seperti rumah, sekolah, layanan, transportasi, dan tempat bersantai dikondisikan menjadi selingkup sebagai penciptaan lingkungan yang kondusif untuk bisnis.
Maka kita melihat bagaimana cepatnya perubahan wujud kota Banda Aceh. Berikut perubahan tingkah laku warga yang mendiaminya. Kedatangan pekerja-pekerja asing seolah mendesak pemerintah kota Banda Aceh untuk segera melakukan perombakan besar-besaran wujud tata kota dengan konsep modern yang sama sekali terlihat sebagai usaha merubuhkan kenangan terhadap sejarah. Melenyapkan tradisi. Dalam konteks usaha-usaha komersial misalnya banyak orang yang tergerak untuk berjualan karena ada permintaan pasar yang meningkat selama banyak orang yang bertandang ke Aceh, jadi yang berkembang adalah ekonomi konsumsi bagi masyarakat, bukan bentuk ekonomi produksi. Akibatnya berputarnya uang dalam jumlah besar hanya berujung pada kenaikan harga barang dan laju inflasi yang mencemaskan.
Gaya hidup mewah juga mulai dipraktekkan oleh sebagian kalangan Orang Aceh yang beroleh berkah dan memiliki kemampuan mengakses dana melimpah bantuan tsunami. Gaji yang selama ini hampir merupakan angka mimpi, kini dapat diperoleh dengan memiliki sedikit keahlian tertentu. Baik di lembaga-lembaga internasional maupun BRR. Kecenderungan ingin berebut jatah bantuan tsunami juga menciptakan trend Orang Aceh membangun lembaga-lembaga swadaya masyarakat, tentunya dengan isu-isu yang mesti relevan dengan kehendak pemilik uang. Kenyataannya memang banyak lembaga-lembaga tersebut memperoleh support dana dan tentunya juga mengubah standar pendapatan orang-orang yang bergiat dengan pekerjaan itu.
Ketika perputaran uang bantuan demikian deras di Aceh maka yang muncul adalah pertarungan merebutnya. Ini memicu sebagian Orang Aceh yang tidak memiliki kemampuan bekerja profesional dengan standar lembaga-lembaga swadaya tersebut untuk memilih jalan lain menuju gelanggang perebutan uang. Maka ada Orang Aceh yang kemudian seperti kehilangan kesadaran hingga begitu bernafsu menggunduli hutan karena permintaan akan kebutuhan kayu meningkat pesat. Atau para mantan orang kuat yang dulu berperang dengan senjata (dari kedua belah pihak) kini kembali mengandalkan track record nya untuk memperoleh “jatah”. Kesemua tingkah polah ini, kita tahu, hasilnya adalah sementara. Satu atau dua tahun ke depan, gaji besar dari mereka para pekerja di lembaga asing pascaupaya rekonstruksi akan menjadi kenangan. Akan menjelma sekian ribu pengangguran high class yang pernah dilimpahi berbagai fasilitas duduk termangu sambil mencemaskan keadaan gunung-gunung yang butuh puluhan tahun menghidupkan kembali pohon-pohon yang kokoh untuk menghadang bandang agar tak menyapu kampung.





BAB III
PENUTUP
a.       Kesimpulan
          Dari pembahasan diatas dapat kita simpulkan bahwa globalisasi memiliki dampak   positif dan negatif. Globalisasi dapat membawa perubahan yang sangat besar bagi sebuah negara maupun dunia, baik di bidang teknologi, sosial, budaya masyarakat, politik, ekonomi, lapangan pekerjaan dan banyak hal lainnya. Perubahan di aceh dapat di lihat setelah tsunami banyak ditemukan makanan siap saji dan cafe-cafe yang disertakan dengan wiffi nya. Budaya aceh pun perlahan-lahan mulai memudar atau hilang di masyarakat aceh ini dikarenakan dampak dari globalisasi tersebut.     Disamping itu, diupayakan pula pem-bangunan moral, yang mengedepankan nilai-nilai kejujuran, amanah, keteladan-an,sportivitas, disiplin, etos kerja, gotong-¬royong, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu dan tanggung jawab. Tujuan tersebut dilaksanakan pula melalui pengarusu-tamaan nilai-nilai budaya pada aspek pembinaan, pengembangan dan pemba-ngunan. Kegiatan pokok yang ditempuh antara lain adalah aktualisasi nilai moral dan agama, revitalisasi dan reaktualisasi budaya daerah yang bernilai luhur.
          Program pengelolaan kekayaan budaya bertujuan untuk meningkatkan apresiasi dan kecintaan masyarakat terhadap budaya kita sendiri. Kegiatan pokok yang dapat dilaksanakan antara lain berupa pelestarian budaya yang meliputi sejarah, kepurbakalaan dan benda cagar budaya; Peningkatan kapasitas sumber daya manusia pengelola kekayaan budaya; Pengembangan sistem informasi dan database budaya; Pengembangan peran serta masyarakat dan swasta dalam pengelolaan kekayaaan budaya; Trans-kripsi dan transliterasi naska¬h naskah kuno; penelitian, penulisan serta pence-takan naskah-naskah dan buku-buku sejarah dan kebanggaan Aceh; Pening-katan kapasitas kelembagaan dan unit-unit pelaksana teknis kebudayaan.


b.      Saran
Kepada pemerintah aceh supaya menggalakkan kembali budaya aceh di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang hampir pudar di masyarakat aceh sendiri, dan juga dibutuhkan partisipasi masyarakat dalam mewujudkan kembali budaya aceh di masyarakat aceh.


DAFTAR PUSTAKA
http://tikarpandan.org.com
http://id.wikipedia.org/wiki/Globalisasi.com
http://cairudin.blogspot.com/2011/01/globalisasi-dan-korporasi.com
http://hanimumankz.blogspot.com/2011/01/dampak-negatif-globalisasi- terhadap.com
Bourdieu, Pierre. 1977. Outline of a Theory of Practice. Cambridge University  Press.ISBN 978-0-521-29164-4
Cohen, Anthony P. 1985. The Symbolic Construction of Community. Routledge: New York,
Koenjaraningrat. 1990. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Adeney, Bernard T. 1995. Etika Sosial Lintas Budaya. Yogyakarta: Kanisius. Al-Hadar Smith.
Barzilai, Gad. 2003. Communities and Law: Politics and Cultures of Legahkjkjl       Identities. University of Michigan Press.
Cohen, Anthony P. 1985. The Symbolic Construction of Community. Routledge: New York,




Tidak ada komentar:

Posting Komentar